Hari ini sekitar pukul 15.00-an, tiba tiba hujan menghantui
Bekasi. Gue masih tidur-tiduran santai sambil baca buku di atas kasur. Ibu gue
pun masih duduk santai sambil nonton teve di ruang tengah. Sampai akhirnya, ibu
mulai mengambil ember kecil untuk menampung bocor di ruang makan. Gue mulai
duduk, sambil tetap baca buku. Sampai beberapa saat kemudian, ibu gue mengambil
ember besar untuk menampung tampias di ruang makan. Gue berdiri dan menengok ke
depan rumah, oh God !
Ibu gue mulai beranjak, berdiri, mulai panik sedikit , ya,
ternyata mulai banjir saudara saudara di halaman rumah. Air sudah hampir sampai
teras rumah. Adek gue pun akhirnya keluar dari kamar, menengok halaman rumah,
panik. Hem, pertanda buruk, hujan makin deras. Dan kami semua pun mulai
bergegas, mengangkat barang barang yang ada di bagian bawah , mengangkat
lemari, mengangkat bakul cucian, mengangkat kasur bawah adek gue, dan
mengangkat semua buku di lemari bawah.
ya, seperti biasa, kalau hujan menghantam rumah kami, rumah kami
selalu kebanjiran. Biasanya banjir hanya sampai ke jalanan depan rumah, tapi
kalau hujannya luar biasa deras seperti sore ini, ya air akan masuk ke dalam
rumah. Dan alakadabra, apa daya dan upaya meski sudah berdoa agar hujan
berhenti dan air banjir tidak masuk ke dalam rumah, sore ini pun air tetap masuk
ke dalam rumah gue. sedih. bete
kurang dari lima belas menit , sudah ada danau buatan di dalam
rumah gue. Banjir oh banjir . Ya ini kali ketiga air banjirnya masuk ke dalam
rumah gue, setelah pernah beberapa tahun lalu sempat masuk ke rumah. Banjir
memang selalu jadi masalah utama kalau musim hujan di rumah gue. Dan setiap
kali banjir masuk ke dalam rumah, gue sangat capek. Capek hati dan capek badan.
Capek hati karena takut banjir akan semakin naik dan pada akhirnya rumah gue
sampai tenggelam. Capek badan karena meski telah surut, air banjir akan
meninggalkan bekas yang sangat jorooook. dan alhasil, gue harus kerja bakti
sekeluarga.
Permasalahan banjir ini memang happening banget di daerah
perumahan gue, yang letaknya di bawah permukaan kali. Jadi, setiap kali hujan,
perumahan gue Duren Jaya, pasti banjir. Masalahnya, kalau sudah sampai masuk
rumah itu rasa argh banget. Seperti sore kemarin, setelah banjir masuk ke dalam
rumah. Gue, adek gue, dan ibu gue duduk di atas kursi menaikkan kaki. Rumah
kami tidak tingkat dua, maka kami hanya punya lantai satu. Kasur di kamar gue
dan adek gue pun sudah penuh dengan barang-barang yang tadi dinaikkan karena
posisinya dibawah. Jadi tinggallah kami diatas kursi ruang tamu, tak bergerak.
Tapi selalu ada cerita lucu disaat banjir. Ini untuk kali pertama,
gue mesti melakukan shalat diatas bangku. Ya, jadi gue dan ibu gue shalat
diatas kursi panjang di ruang tamu dikarenakan tidak ada lagi lantai yang tidak
tergenang air di rumah gue. Lucu, menyedihkan. Gue takut ibu gue yang gendut
kepeleset terus jatuh pas lagi bergerak dari sujud ke rakaat baru. Well, ibu
gue punya ukuran tubuh yang tidak kecil, sedangkan kursinya cukup kecil.
Cerita lucu lainnya datang karena kami bertiga sangat kelaparan
dan hanya ada nasi di rumah. Ibu tidak bisa memasak karena dapurnya banjir,
rasanya malas sekali memasak dengan kaki dikelilingi air yang menjijikkan kan? Karena
itu, kami bertiga berdoa supaya ayah segera pulang dan semoga ayah berinisiatif
membeli makanan untuk kami bertiga. Dan doa kami terkabul. Ayah pulang sambil
membawa sesuatu kantong plastic. Bak pengungsi banjir yang kelaparan, kami pun
bahagia sekali melihat ayah pulang bawa bungkusan. Ya, ayah bawa bungkusan
berisi nasi uduk. Kami (gue, ibu, dan adik gue) bersorak senang. Dan kami
berempat makan diatas kursi ruang tamu dengan kaki mengangkat ke atas kursi,
kalau hari hari biasa ibu akan marah kalau kami mengangkat kaki ke atas kursi
saat makan. Tapi malam itu, kami berempat lahap makan nasi uduk dengan kaki
diangkat keatas kursi. Haha. Bahagia itu sederhana.
Ternyata banjir malam itu tidak cepat surut sehingga kami benar
benar tidak bisa bergerak. Sampe ibu mengeluarkan celetukan yang bikin saya
terpingkal. “Yah, maau gak gendong kita bertiga satu satu ke dalam kamar ?”
Spontan, kami semua tertawa. Yah, banjir biar bagaimanapun tetap memberikan
sebuah cerita.
Setelah pukul 12 malam, banjir baru mulai surut. Dan kami mulai
berbenah. Membereskan rumah, mengeluarkan air banjir, membilas lantai rumah,
dan mengepel. Menggeser kursi-kursi, kasur, membersihkan kolong-kolongnya dan
semuanya, sampai lantai kami kembali bersih. Dan sekitar pukul 3 pagi, rumah
kami baru benar benar bersih dan kering. Kami pun akhirnya duduk santai di
ruang tamu sambil minum teh panas yang dibuatkan ayah.
Saat itulah, pikiran gue melayang ke hari yang sama tepat 9 tahun
yang lalu. Ya, Sembilan tahun yang lalu, di tanggal 26 Desember, banjir besar
menghadang Aceh. Ya, tsunami namanya kalau kalian masih ingat. Saat itu, ombak
besar menyapu Aceh dan sekitarnya. Saat itu puluhan ribu orang hilang, dan banyak
orang yang kehilangan rumahnya. Sembilan tahun yang lalu, tepat di hari ini,
banyak orang menangis. Seluruh dunia gempar akibat bencana tsunami yang terjadi
di Sumatra sana. Pedih bila mengingatnya.
Memang tanpa terasa sudah 9 tahun berlalu sejak kejadian itu terjadi.
Tapi pahit, luka, dan trauma yang membekas di benak para korban masih saja
terus dikenang. Apalagi begitu banyak sanak saudara yang hilang. Gue ingat
ketika saat itu terjadi, gue mungkin baru kelas satu SMP atau masih 6 SD, saat
itu salah satu Mak tuo gue tinggal di Aceh dan dia sekeluarga gabisa turun dari
lantai dua yang penuh air. Bersyukur rumahnya masih jauh dari pusat gempa
sehingga tidak ambruk seutuhnya. Ada om gue yang hanyut dan belum ditemukan
saat itu. Meskipun hanya terhitung saudara jauh, tetap saja gue merasakan
sedihnya ada sanak keluarga yang hilang disana. Gue benar benar tidak bisa
membayangkan bagaimana jika gue tinggal disana saat itu, dan sanak keluarga gue
yang hilang saat itu.
Tapi bagaimana Aceh sekarang? Sekarang sudah banyak jalan protocol
yang ada, mobil pun sudah semakin memadati kota itu sehingga macet biasa
terjadi, banyak tempat hiburan, banyak mall berdiri, dan bangunan-bangunan lain
yang sudah kembali menghidupkan Aceh. Aceh tidak terpuruk dalam kedukaannya.
Aceh bangkit dari hari paling menyakitkan sepanjang sejarah kehidupan manusia
di dalamnya. Meskipun mungkin diantara semua kemajuan yang ada sekarang, masih
ada juga warga yang belum kembali memiliki rumah setelah 9 tahun tsunami
menghancurkan rumahnya.
Infrastruktur yang menduung untuk tanggap bencana juga sudah ada
yang berdiri disana, meski fungsinya belum berjalan maksimal. Dan bahkan,
perawatannya juga dikatakan masih terbengkalai. Sirene peringatan bencana pun
belum bisa optimal karena masih mengandalkan listrik dari PLN yang sering kali
mati bila bencana tiba. Karena itulah, pekerjaan rumah untuk Aceh sebenarnya
masih banyak. Baik untuk memajukan kota itu sendiri ataupun untuk mencegah
terjadinya akibat yang parah karena bencana alam.
Hem ya, sebenarnya berbicara tentang bencana alam memang selalu
sulit. Tidak ada yang tahu kapan bencana itu akan datang. Tapi satu hal yang
harus kita ingat adalah bahwa bencana itu merupakan peringatan dari Yang Maha
Kuasa kepada manusia. Bahwa kita harusnya menjaga alam ini dengan sebaik
baiknya. Bahwa seharusnya kita bersyukur masih bisa hidup dari kekayaan alam
sampai hari ini. Bahwa seharusnya kita harus selalu bersabar menghadapi segala
sesuatunya .
dan bahwa gue sebagai calon engineer harusnya bisa memikirkan solusi dari permasalahan-permasalahan pencegahan maupun penanggulangan bencana yang sering terjadi. Dan itu adalah tugas besar gue seharusnya, sebagai calon engineer, yang katanya mau berbuat banyak untuk negeri. Gue harus bisa menyumbangkan ide-ide besar nantinya agar rakyat Indonesia bisa lebih sejahtera nantinya. ya entah bagaimana caranya.
Banjir malam ini mengingatkan gue tentang banyak hal. Bahwa ini
baru sebuah bencana kecil yang masih bisa diambil banyak hal baiknya. Dan gue
harus bersyukur tidak pernah merasakan bencana besar seperti yang dirasakan
saudara saudara gue di Aceh 9 tahun lalu. Dan gue tidak sepantasnya mengeluh.
Pada akhirnya gue akan sedikit berdoa,
“ Semoga semua almarhum dan almarhumah korban tsunami 9 tahun yang
lalu diberikan tempat yang terbaik di alam sana, dan semoga yang ditinggalkan
diberi kekuatan dan ketabahan selalu. Dan semoga malam ini, malam esok dan
seterusnya, rumah gue tidak kebanjiran lagi.”
Comments
Post a Comment
speak out time